Ketika mengikuti sebuah pengajian pengkaderan akidah, ada sebuah pernyataan dari seorang kiai yang menghenyakkan hati saya, kiai itu berkata: “Kebutuhan mendesak permasalahan yang musykil di dalam tubuh Nahdlatul ‘Ulama adalah Syi’ah, karena benalu Syi’ah itu berada di dalam tubuh NU.” Agak lama saya mengerenyitkan dahi, berpikir, bagaimana mungkin Syi’ah menjadi prioritas? Bukankah ada mafahim al-hadamah (paham-paham desktruktif) lainnya seperti JIL dan Wahabi?
Ketika mengikuti sebuah pengajian pengkaderan akidah, ada sebuah pernyataan dari seorang kiai yang menghenyakkan hati saya, kiai itu berkata: “Kebutuhan mendesak permasalahan yang musykil di dalam tubuh Nahdlatul ‘Ulama adalah Syi’ah, karena benalu Syi’ah itu berada di dalam tubuh NU.” Agak lama saya mengerenyitkan dahi, berpikir, bagaimana mungkin Syi’ah menjadi prioritas? Bukankah ada mafahim al-hadamah (paham-paham desktruktif) lainnya seperti JIL dan Wahabi?
Seakan tahu dengan kegalauan yang ada dibenak, Kiai itu menjelaskan bahwa ibarat penyakit, Syi’ah ini sudah masuk ke bagian organ dalam. Dengan memanfaatkan doktrin mahabbah ahlil bait (baca: cinta kepada keluarga nabi), Syi’ah telah berhasil menggaet simpatik Kiai dan para pengikutnya di beberapa daerah.
Sebagaimana sudah maklum, dalam kultur NU yang kental, para Hababib yang merupakan dzurriyat rasul (cicit rasul) itu memiliki posisi yang istimewa dan mulia. Karena di dalam tradisi pesantren diajarkan untuk mencintai mereka sebagai salah satu wujud kecintaan kepada Rasulullah SAW, datuk ‘alawiyyien. Kecintaan yang sudah tertanam sejak lama itu, sampai-sampai menimbulkan anggapan di kalangan sebagian warga Nahdliyin, bahwa apa-apa yang dibawa oleh habaib itu pasti benar.
Celah ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum habaib yang telah “tercuci otaknya” untuk menyebarkan ajaran Syi’ah. Dengan memanfaatkan doktrin mahabah ahlul bait, mereka melakukan peropaganda ajaran Syi’ah. Kemudian bermunculanlah kasus-kasus konversi (perpindahan agama) dari Ahlussunnah menjadi Syi’ah. Tak pelak lagi, ketika berpindah menjadi Syi’ah, kader-kader NU yang dulunya mencintai sahabat itu, berbalik tajam menjadi pelaknat sahabat dan istri-istri Nabi. Terkhusus terhadap Abu Bakar, Umar, Usman, kebencian mereka seakan tak termaafkan. Hal ini bukanlah pernyataan fiktif atau kebohongan belaka. Sudah banyak kasus terjadi dan penelitian dilakukan oleh orang-orang yang peduli akan hal itu.
Bila ditelusuri lebih lanjut, para abna’ habaib yang Syi’ah itu hampir keseluruhan adalah orang-orang yang tidak mengikuti ajaran agama para orang tuanya atau menyimpangi pedoman hidup yang dibawa oleh para datuknya yang memiliki sanad bersambung kepada habaib di Hadramaut dan berlanjut ke Rasulullah SAW. Tokoh-tokoh habaib penyebar syi’ah di Indonesia itu umumnya adalah lulusan Iran yang telah melalui pengkaderan dulu di seuah pesantren Syi’ah di Bangil-Jawa Timur.
Sebelum ada demo anti syi’ah secara besar-besaran di Bangil beberapa waktu lalu, saya pernah berkunjung ke pesantren tersebut. Di sana saya di temui oleh pengurus yang waktu itu memang mengakui bahwa pesantren itu adalah sebuah pesantren yang mengajarkan ajaran syi’ah itsna ‘asyariah, yang menurut mereka adalah madzhab ahlul bait. Awalnya mereka tidak mengakui hal itu. Mereka hanya mengatakan “kami mengajarkan lima mazhab untuk perbandingan.” Namun setelah terjadi demo yang diikuti ratusan muslimin Bangil dan sekitarnya itu, mereka melakukan aksi tutup mulut, baik kepada wartawan maupun orang asing yang datang kepadanya.
Persoalan Syi’ah ini menjadi masalah yang sangat mengganggu sekali di dalam perkembangan ahlussunnah wal jama’ah. Di sisi lain pendidikan ahlussunnah wal jama’ah sementara ini di pesantren-pesantren hanya dipahami oleh para kadernya sebatas masalah furu’iyah saja, seperti tahlil, qunut dan sebagainya. Tetapi sebaliknya masalah yang lebih penting dari itu menyangkut penyimpangan akidah sedikit diremehkan.
Perlu ditegaskan kembali, bahwa Syi’ah yang berkembang dan menjadi virus bagi habaib di Indonesia adalah Syi’ah Ithna ‘Asyariyah Ja’fariyah yang berkembang di Iran semenjak Revolusi 1979. Menurut kategorisasi ad-Dahlawy dalam “Attuhfah Itsna ‘Asyariyah”, sekte ini termasuk dalam kualifikasi Syi’ah Ghulat. Atau dalam litelatur lainnya disebut sebagai Rafidhah.
Gerakan Syi’aisasi ini berlangsung sejak pasca Revolusi Iran (1979). Waktu itu terjadi euforia di kalangan umat Islam. Karena Iran saat itu merupakan simbol Islam yang dapat mengalahkan kedigdayaan Amerika dan sekutunya. Banyak dari kalangan muda tepengaruh, dan menjadi simpatik dengan Ayatullah Khomeini. Sebelum itu orang tidak mengenal Syi’ah, kecuali sepotong-potong. Kemudian mendiang Ayatullah Khomeini membuat kebijakan dengan mengekspor revolusi Iran ke negara-negara Islam. Ia waktu itu memberi beasiswa secara besar-besaran kepada pemuda Islam di seluruh dunia, untuk belajar di Qum, dengan target dicetak menjadi da’i Syi’ah. Pada awal-awal revolusi banyak negara Islam yang mendukung Iran dalam batas-batas ukhuwah dan persamaan tauhid.
Berkontainer-kontainer buku dan propaganda syi’ah masuk ke negeri-negeri Islam. Selanjutnya, setelah melakukan interaksi secara intensif tahulah negeri-negeri Islam, bahwa Iran memiliki akidah yang berbeda secara prinsipal dan mereka suka merongrong Ahlu Sunnah. Maka batas-batas hubungan pun dipersempit. Tercatat dalam sejarah, sekitar tahun 1984 Brunei mengharamkan Syi’ah, dan penguasa Malaysia menghentikan droping buku-buku Syi’ah, terutama menyangkut khalifah dan sahabat.
Di Indonesia, semenjak keran kebebasan reformasi dibuka, yang akhirnya menjadi kebebasan yang ‘kebabalasan’, Syi’ah semakin berani dan terang-terangan mempropagandakan akidahnya, bukan hanya di tingkat strata muslimin awam menjadi sangat rentan terpengaruh retorika Syi’ah. Bahkan kalangan mahasiswa yang disbut-sebut sebagai ‘kaum intelektual’ pun juga terpengaruh dengan buku-buku syi’ah yang menurut mereka logis, membebaskan dan mencerahkan. Melalui buku-buku, syi’ah mencoba menciptakan keragu-raguan terhadap sendi-sendi keyakinan Ahlu Sunnah. Mereka masuk melalui pemutarbalikan fakta sejarah di dalamnya. Jika ditelaah lebih lanjut, metode yang digunakan persis metodologi penelitian orientalisme: mengembangkan kritik tiada henti sampai kepada bidang-bidang ilmu keislaman yang sudah final.
Misalnya saja, mereka menciptakan keraguan terhadap kitab Shahih Bukhari dengan mengatakan bahwa kitab itu tidak sepenuhnya karena di dalamnya terdapat hadis-hadis musykil semacam nabi kena shir, nabi kencing berdiri dan sebagainya. Mereka juga melakukan kritik-kritik terhadap sahabat, disertai pelaknatan dan pendiskreditan. Pada akhirnya mereka ingin menghancurkan dan menumbangkan sahabat serta riwayat-riwayat hadisnya yang secara otomatis akan meruntuhkan tatanan mazahibul arba’ah diganti dengan mazhab ahlul bait.
Begitulah, alhalim fahim kata pepatah Arab. Telah kita fahami bahwa begitu bahaya aliran syi’ah ini, yang mengatasnamakan ‘mazhab ahlul bait’. Diakui atau tidak, selama ini Ahlu Sunnah begitu santai dan tertidur ketika menghadapi tantangan akidah semacam ini. Last but not least, ahlus sunnah harus bangkit, dengan melakukan penelitian, pengkajian, dan pengkaderan secara sistematis dan terencana untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai Sunni yang baik.@
Ketika mengikuti sebuah pengajian pengkaderan akidah, ada sebuah pernyataan dari seorang kiai yang menghenyakkan hati saya, kiai itu berkata: “Kebutuhan mendesak permasalahan yang musykil di dalam tubuh Nahdlatul ‘Ulama adalah Syi’ah, karena benalu Syi’ah itu berada di dalam tubuh NU.” Agak lama saya mengerenyitkan dahi, berpikir, bagaimana mungkin Syi’ah menjadi prioritas? Bukankah ada mafahim al-hadamah (paham-paham desktruktif) lainnya seperti JIL dan Wahabi?
Seakan tahu dengan kegalauan yang ada dibenak, Kiai itu menjelaskan bahwa ibarat penyakit, Syi’ah ini sudah masuk ke bagian organ dalam. Dengan memanfaatkan doktrin mahabbah ahlil bait (baca: cinta kepada keluarga nabi), Syi’ah telah berhasil menggaet simpatik Kiai dan para pengikutnya di beberapa daerah.
Sebagaimana sudah maklum, dalam kultur NU yang kental, para Hababib yang merupakan dzurriyat rasul (cicit rasul) itu memiliki posisi yang istimewa dan mulia. Karena di dalam tradisi pesantren diajarkan untuk mencintai mereka sebagai salah satu wujud kecintaan kepada Rasulullah SAW, datuk ‘alawiyyien. Kecintaan yang sudah tertanam sejak lama itu, sampai-sampai menimbulkan anggapan di kalangan sebagian warga Nahdliyin, bahwa apa-apa yang dibawa oleh habaib itu pasti benar.
Celah ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum habaib yang telah “tercuci otaknya” untuk menyebarkan ajaran Syi’ah. Dengan memanfaatkan doktrin mahabah ahlul bait, mereka melakukan peropaganda ajaran Syi’ah. Kemudian bermunculanlah kasus-kasus konversi (perpindahan agama) dari Ahlussunnah menjadi Syi’ah. Tak pelak lagi, ketika berpindah menjadi Syi’ah, kader-kader NU yang dulunya mencintai sahabat itu, berbalik tajam menjadi pelaknat sahabat dan istri-istri Nabi. Terkhusus terhadap Abu Bakar, Umar, Usman, kebencian mereka seakan tak termaafkan. Hal ini bukanlah pernyataan fiktif atau kebohongan belaka. Sudah banyak kasus terjadi dan penelitian dilakukan oleh orang-orang yang peduli akan hal itu.
Bila ditelusuri lebih lanjut, para abna’ habaib yang Syi’ah itu hampir keseluruhan adalah orang-orang yang tidak mengikuti ajaran agama para orang tuanya atau menyimpangi pedoman hidup yang dibawa oleh para datuknya yang memiliki sanad bersambung kepada habaib di Hadramaut dan berlanjut ke Rasulullah SAW. Tokoh-tokoh habaib penyebar syi’ah di Indonesia itu umumnya adalah lulusan Iran yang telah melalui pengkaderan dulu di seuah pesantren Syi’ah di Bangil-Jawa Timur.
Sebelum ada demo anti syi’ah secara besar-besaran di Bangil beberapa waktu lalu, saya pernah berkunjung ke pesantren tersebut. Di sana saya di temui oleh pengurus yang waktu itu memang mengakui bahwa pesantren itu adalah sebuah pesantren yang mengajarkan ajaran syi’ah itsna ‘asyariah, yang menurut mereka adalah madzhab ahlul bait. Awalnya mereka tidak mengakui hal itu. Mereka hanya mengatakan “kami mengajarkan lima mazhab untuk perbandingan.” Namun setelah terjadi demo yang diikuti ratusan muslimin Bangil dan sekitarnya itu, mereka melakukan aksi tutup mulut, baik kepada wartawan maupun orang asing yang datang kepadanya.
Persoalan Syi’ah ini menjadi masalah yang sangat mengganggu sekali di dalam perkembangan ahlussunnah wal jama’ah. Di sisi lain pendidikan ahlussunnah wal jama’ah sementara ini di pesantren-pesantren hanya dipahami oleh para kadernya sebatas masalah furu’iyah saja, seperti tahlil, qunut dan sebagainya. Tetapi sebaliknya masalah yang lebih penting dari itu menyangkut penyimpangan akidah sedikit diremehkan.
Perlu ditegaskan kembali, bahwa Syi’ah yang berkembang dan menjadi virus bagi habaib di Indonesia adalah Syi’ah Ithna ‘Asyariyah Ja’fariyah yang berkembang di Iran semenjak Revolusi 1979. Menurut kategorisasi ad-Dahlawy dalam “Attuhfah Itsna ‘Asyariyah”, sekte ini termasuk dalam kualifikasi Syi’ah Ghulat. Atau dalam litelatur lainnya disebut sebagai Rafidhah.
Gerakan Syi’aisasi ini berlangsung sejak pasca Revolusi Iran (1979). Waktu itu terjadi euforia di kalangan umat Islam. Karena Iran saat itu merupakan simbol Islam yang dapat mengalahkan kedigdayaan Amerika dan sekutunya. Banyak dari kalangan muda tepengaruh, dan menjadi simpatik dengan Ayatullah Khomeini. Sebelum itu orang tidak mengenal Syi’ah, kecuali sepotong-potong. Kemudian mendiang Ayatullah Khomeini membuat kebijakan dengan mengekspor revolusi Iran ke negara-negara Islam. Ia waktu itu memberi beasiswa secara besar-besaran kepada pemuda Islam di seluruh dunia, untuk belajar di Qum, dengan target dicetak menjadi da’i Syi’ah. Pada awal-awal revolusi banyak negara Islam yang mendukung Iran dalam batas-batas ukhuwah dan persamaan tauhid.
Berkontainer-kontainer buku dan propaganda syi’ah masuk ke negeri-negeri Islam. Selanjutnya, setelah melakukan interaksi secara intensif tahulah negeri-negeri Islam, bahwa Iran memiliki akidah yang berbeda secara prinsipal dan mereka suka merongrong Ahlu Sunnah. Maka batas-batas hubungan pun dipersempit. Tercatat dalam sejarah, sekitar tahun 1984 Brunei mengharamkan Syi’ah, dan penguasa Malaysia menghentikan droping buku-buku Syi’ah, terutama menyangkut khalifah dan sahabat.
Di Indonesia, semenjak keran kebebasan reformasi dibuka, yang akhirnya menjadi kebebasan yang ‘kebabalasan’, Syi’ah semakin berani dan terang-terangan mempropagandakan akidahnya, bukan hanya di tingkat strata muslimin awam menjadi sangat rentan terpengaruh retorika Syi’ah. Bahkan kalangan mahasiswa yang disbut-sebut sebagai ‘kaum intelektual’ pun juga terpengaruh dengan buku-buku syi’ah yang menurut mereka logis, membebaskan dan mencerahkan. Melalui buku-buku, syi’ah mencoba menciptakan keragu-raguan terhadap sendi-sendi keyakinan Ahlu Sunnah. Mereka masuk melalui pemutarbalikan fakta sejarah di dalamnya. Jika ditelaah lebih lanjut, metode yang digunakan persis metodologi penelitian orientalisme: mengembangkan kritik tiada henti sampai kepada bidang-bidang ilmu keislaman yang sudah final.
Misalnya saja, mereka menciptakan keraguan terhadap kitab Shahih Bukhari dengan mengatakan bahwa kitab itu tidak sepenuhnya karena di dalamnya terdapat hadis-hadis musykil semacam nabi kena shir, nabi kencing berdiri dan sebagainya. Mereka juga melakukan kritik-kritik terhadap sahabat, disertai pelaknatan dan pendiskreditan. Pada akhirnya mereka ingin menghancurkan dan menumbangkan sahabat serta riwayat-riwayat hadisnya yang secara otomatis akan meruntuhkan tatanan mazahibul arba’ah diganti dengan mazhab ahlul bait.
Begitulah, alhalim fahim kata pepatah Arab. Telah kita fahami bahwa begitu bahaya aliran syi’ah ini, yang mengatasnamakan ‘mazhab ahlul bait’. Diakui atau tidak, selama ini Ahlu Sunnah begitu santai dan tertidur ketika menghadapi tantangan akidah semacam ini. Last but not least, ahlus sunnah harus bangkit, dengan melakukan penelitian, pengkajian, dan pengkaderan secara sistematis dan terencana untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai Sunni yang baik.@
Posting Komentar