Sejak malam orang berduyun-duyun datang, seperti tak mau ketinggalan. Berbagai kendaraan, seperti bus, mobil, sepeda motor dan bahkan sepeda pancal berseliweran, membuat suasana pondok itu berbeda dari hari-hari biasa. Mereka menuju ke kompleks makam untuk berziarah, ada beberapa rombongan yang beristirahat di masjid dan mushalla. Ada pula yang bersantai di asrama santri. Mereka ini biasanya walisantri dari daerah-daerah. Para tamu-tamu itu adalah mereka yang akan hadir esok harinya pada acara Haul ke-18 Kiai As'ad Syamsul Arifin, pendiri dan pengasuh generasi kedua Pesantren Salafiyah Syafi'iyah itu (27 Mei lalu).
Sejak malam orang berduyun-duyun datang, seperti tak mau ketinggalan. Berbagai kendaraan, seperti bus, mobil, sepeda motor dan bahkan sepeda pancal berseliweran, membuat suasana pondok itu berbeda dari hari-hari biasa. Mereka menuju ke kompleks makam untuk berziarah, ada beberapa rombongan yang beristirahat di masjid dan mushalla. Ada pula yang bersantai di asrama santri. Mereka ini biasanya walisantri dari daerah-daerah. Para tamu-tamu itu adalah mereka yang akan hadir esok harinya pada acara Haul ke-18 Kiai As'ad Syamsul Arifin, pendiri dan pengasuh generasi kedua Pesantren Salafiyah Syafi'iyah itu (27 Mei lalu).
Sukorejo adalah sebuah desa kecil, yang kemudian dikenal sebagai Pondok Sukorejo. Terletak di hampir ujung timur pulau Jawa, sekitar 235 kilometer dari Surabaya, berada di hampir perbatasan Situbondo-Banyuwangi. Kawasan yang sekarang menjadi pesantren, mulanya adalah hutan yang dipenuhi binatang buas. KH Syamsul Arifin (ayah Kiai As'ad)-lah yang membabat hutan itu mula-mula, lalu mendirikan majlis ta'lim yang kemudian disertai dengan pembukaan lahan pertanian sekaligus pondok. Tahun 1950, KH Syamsul Arifn meninggal dan digantikan As'ad muda yang baru pulang dari Mekkah. Ia memang lahir dan sempat dibesarkan di sana.
Kiai As'ad yang pernah nyantri pada para pembesar NU (Nahdlatul Ulama) seperti KH Cholil Bangkalan dan KH Hasyim Asy'ari Tebuireng ini sangat lincah dan cerdik. Ia pernah dipercaya untuk membawa amanat penting oleh KH Cholil Bangkalan (yang gurunya itu) untuk disampaikan kepada KH Hasyim Asy'ari di Tebuireng (Jombang) dengan dibekali wirid Asma'ul Husna Ya Qohhar…Ya Qohhar…, yang diminta untuk dibaca terus kala itu. Selain wirid, As'ad remaja juga dibekali tasbih, yang sengaja langsung dikalungkan di lehernya. Kedekatannya dengan pendiri dan pemuka NU, bahkan ia sendiri termasuk aktivis NU pada saat pendirian itu menghantar kiai As'ad kemudian jadi rujukan kalangan nahdliyyin.
Ketika terjadi kemelut dalam tubuh NU tahun 1980-an, Kiai As'ad diminta jasanya oleh PBNU ketika itu untuk mencari solusi. KH Idham Chalid, ketua PBNU (saat itu) yang dinilai tidak akomodatif terhadap aspirasi politik NU di tubuh PPP (Partai Persatuan Pembangunan) mengecewakan para kiai. Maka berkat pendekatan Kiai As'ad, Ketua Umum PBNU tersebut mengundurkan diri, yang kemudian dilanjutkan dengan Munas dan Muktamar ke-27 (1983 & 1984) di Situbondo. Sejak itu secara nasional nama Kiai As'ad melambung. Posisinya yang strategis di NU menyebabkan posisi tawar Kiai As'ad dengan pemerintah menjadi kian kuat. Tatkala buku PMP (Pendidikan Moral Pancasila) yang diajarkan di sekolah ada kalimat yang bertentangan dengan agama. Kiai ini langsung memrotes ke Presiden, dan direspons dengan baik oleh Pak Harto.
Komitmennya pada ajaran Ahlus Sunnah wal Jama'ah sangat kuat, karena itu nama pondok yang disingkat PP Sukorejo itu – sebenarnya kepanjangannya Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo.Lembaga pendidikan yang kini diwariskan kepada anak-anaknya adalah sebuah yayasan pendidikan mulai TK sampai Perguruan Tinggi dan Ma'had Aly, selain yang formal, juga ada TPQ, Tahfidzul Qur'an dan majlis ta'lim. Kini ada sekitar 12 ribu santri yang belajar di pondok yang diasuh generasi ketiga: KH Fawaid As'ad. Sementara adiknya, KH Cholil As'ad di kota (Situbondo) membuka pesantren sendiri (PP Walisongo) dengan jumlah santri sekitar 10 ribu.
Kharisma Kiai As'ad memang sudah terlihat sejak masa mudanya. Ia pernah menghimpun para preman dalam satu organisasi yang disebut PELOPOR. Secara mental keagamaan mereka ini dibina oleh beliau, namun potensinya digunakan untuk melawan penjajahan. Sedangkan pasca kemerdekaan -- organisasi ini juga memperkuat majlis ta'lim. Di masa kepartaian, mereka juga mendukung partai NU. Tahun 1971, ketika NU menjadi partai, kiai ini selalu berkampanye. Lihatlah, di alun-alun Situbondo, yang dihadiri puluhan ribu massa; kala itu Kiai As'ad diusung dengan tandu. Ia memang tak bicara banyak, namun kata-katanya menyihir massa konstituennya. Demikian pula ketika kampanye NU di Banyuwangi, Bondowoso, Probolinggo, Jember dan Lumajang (daerah tapal kuda ini) – ia selalu dielu-elukan orang banyak. Juga ketika di Madura dan ke manapun kiai pergi senantiasa diiringi para Sakerah (sekuriti kampung khas Madura) yang biasa berkaos garis-garis merah putih, berbaju serba hitam bersenjatakan clurit. Di lingkup pengawalan Sakerah itulah Kiai berkampanye di depan puluhan ribu, dan bahkan konon di Madura pernah dihadiri ratusan ribu massa NU.
Ahirnya tahun itu (1971) menghantar NU menjadi pemenang Pemilu ketiga, meskipun sempat mendapat tekanan penguasa. Sehingga karena kekuatiran menjadi lebih besar, maka partai Islam difusikan oleh pemerintah tatkala UU menyederhanakan Parpol dan Golkar. Namun obsesi Kiai As'ad, yang sempat disampaikan selama itu adalah: harapan agar NU kelak pada masanya menjadi partai besar di Indonesia di masa kebangkitan ulama kedua.
Walaupun sibuk di partai, sebagai kiai dan pendidik beliau ternyata berhasil mengembangkan pesantren. Dalam keyakinan kiai yang satu ini, bahwa Islam itu kaffah (komprehensif), tidak bisa dipisah-pisahkan dengan permasalahan dunia lainnya. Stigma yang mencitrakan bahwa politik itu kotor, dan kiai tak boleh berpolitik – maka ini adalah isu yang dinilainya menyesatkan. Karena akhirnya ketika termakan isu itu, yang ternyata berkuasa bukan orang yanag mengerti agama atau mereka yang dibimbing kiai. "Walaupun NU secara institusional menyatakan kembali ke Khittah 26 sebagai jam'iyyah, maka nahdlyyin harus aktif ambil bagian dalam politik untuk mengisi parlemen menyalurkan aspirasi umat," ini kata kiai As'ad suatu saat yang disampaikan kepada para jama'ahnya.
Kiai As'ad juga memiliki wawasan kebangsaan yang sangat luas. Karena ia percaya bahwa kemerdekaan ini dicapai dengan cucuran keringat dan darah para ulama syuhada (pahlawan) yang dimotivasi dengan agama. Karena itu keulamaan dan kebangsaan tak bisa dipisahkan seperti air dan ikan. Ia juga percaya umat Islam ini adalah pilar bangsa, yang jika mereka bersatu maka akan menjadi kekuatan bangsa yang dahsyat dan mampu menyelesaikan berbagai persoalan negara dan bangsa dengan baik. Namun jika terpecah belah, maka niscaya akan menjadi ancaman. Karena itu diperlukan kesadaran umat agar tidak terpengaruh fitnah dan adu domba.
Di luar perbincangan hal-hal yang serius, terutama menyangkut masalah politik dan pemerintahan itu, sehari-hari beliau tak kehilangan rasa humornya. Di sela-sela menerima tamu, yang rata-rata setiap hari mungkin lebih dari 100 sampai 200 orang (terdiri dari walisantri maupun para jama'ahnya) Kiai As'ad menyelipkan anekdot-anekdot segar. Ketika PPP dipimpin Jhony Naro, sementara NU tak lagi jadi partai, beliau dirasakan umat akan jadi Golput (Golongan Putih) alias tidak mencoblos. Untuk menghindari fitnah yang mungkin meluas dan pemutar-balikan fakta tentang sang Kiai yang menganjurkan Golput kepada umatnya, maka Kiai As'ad kala ditanya mau ikut mencoblos atau tidak pada Pemilu mendatang, maka dia pun menjawab: "Kalau saya coblos di rumah saja, bersama isteri saya!". Puluhan tamu yang diterima di rumahnya yang sangat sederhana itu pun tersenyum penuh pengertian karena sembari terhibur. Ketika mau bilang akan bermufaraqah (istilah fiqh tidak berjama'ah lagi) dengan kepemimpinan Gus Dur di PBNU, dia mengatakan: "Kalau imam shalatnya batal, 'kan saya harus mufaraqah. Masa' harus bermakmum?" katanya pasca Muktamar NU ke-28 di Krapyak, Yogyakarta, 1989.
Kiai As'ad memang kiai fenomenal di lingkungan NU. Pernyatan-pernyataannya sulit diduga dan membutuhkan tafsir sosial dan kearifan. Ia sudah wafat 18 tahun silam dalam usia 92 tahun, namun semangat perjuangannya, dalam pendidikan keimanan kiai yang dekat dengan para habaib ini menjadi contoh teladan yang baik bagi para santri dan alumninya. MB#
Sejak malam orang berduyun-duyun datang, seperti tak mau ketinggalan. Berbagai kendaraan, seperti bus, mobil, sepeda motor dan bahkan sepeda pancal berseliweran, membuat suasana pondok itu berbeda dari hari-hari biasa. Mereka menuju ke kompleks makam untuk berziarah, ada beberapa rombongan yang beristirahat di masjid dan mushalla. Ada pula yang bersantai di asrama santri. Mereka ini biasanya walisantri dari daerah-daerah. Para tamu-tamu itu adalah mereka yang akan hadir esok harinya pada acara Haul ke-18 Kiai As'ad Syamsul Arifin, pendiri dan pengasuh generasi kedua Pesantren Salafiyah Syafi'iyah itu (27 Mei lalu).
Sukorejo adalah sebuah desa kecil, yang kemudian dikenal sebagai Pondok Sukorejo. Terletak di hampir ujung timur pulau Jawa, sekitar 235 kilometer dari Surabaya, berada di hampir perbatasan Situbondo-Banyuwangi. Kawasan yang sekarang menjadi pesantren, mulanya adalah hutan yang dipenuhi binatang buas. KH Syamsul Arifin (ayah Kiai As'ad)-lah yang membabat hutan itu mula-mula, lalu mendirikan majlis ta'lim yang kemudian disertai dengan pembukaan lahan pertanian sekaligus pondok. Tahun 1950, KH Syamsul Arifn meninggal dan digantikan As'ad muda yang baru pulang dari Mekkah. Ia memang lahir dan sempat dibesarkan di sana.
Kiai As'ad yang pernah nyantri pada para pembesar NU (Nahdlatul Ulama) seperti KH Cholil Bangkalan dan KH Hasyim Asy'ari Tebuireng ini sangat lincah dan cerdik. Ia pernah dipercaya untuk membawa amanat penting oleh KH Cholil Bangkalan (yang gurunya itu) untuk disampaikan kepada KH Hasyim Asy'ari di Tebuireng (Jombang) dengan dibekali wirid Asma'ul Husna Ya Qohhar…Ya Qohhar…, yang diminta untuk dibaca terus kala itu. Selain wirid, As'ad remaja juga dibekali tasbih, yang sengaja langsung dikalungkan di lehernya. Kedekatannya dengan pendiri dan pemuka NU, bahkan ia sendiri termasuk aktivis NU pada saat pendirian itu menghantar kiai As'ad kemudian jadi rujukan kalangan nahdliyyin.
Ketika terjadi kemelut dalam tubuh NU tahun 1980-an, Kiai As'ad diminta jasanya oleh PBNU ketika itu untuk mencari solusi. KH Idham Chalid, ketua PBNU (saat itu) yang dinilai tidak akomodatif terhadap aspirasi politik NU di tubuh PPP (Partai Persatuan Pembangunan) mengecewakan para kiai. Maka berkat pendekatan Kiai As'ad, Ketua Umum PBNU tersebut mengundurkan diri, yang kemudian dilanjutkan dengan Munas dan Muktamar ke-27 (1983 & 1984) di Situbondo. Sejak itu secara nasional nama Kiai As'ad melambung. Posisinya yang strategis di NU menyebabkan posisi tawar Kiai As'ad dengan pemerintah menjadi kian kuat. Tatkala buku PMP (Pendidikan Moral Pancasila) yang diajarkan di sekolah ada kalimat yang bertentangan dengan agama. Kiai ini langsung memrotes ke Presiden, dan direspons dengan baik oleh Pak Harto.
Komitmennya pada ajaran Ahlus Sunnah wal Jama'ah sangat kuat, karena itu nama pondok yang disingkat PP Sukorejo itu – sebenarnya kepanjangannya Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo.Lembaga pendidikan yang kini diwariskan kepada anak-anaknya adalah sebuah yayasan pendidikan mulai TK sampai Perguruan Tinggi dan Ma'had Aly, selain yang formal, juga ada TPQ, Tahfidzul Qur'an dan majlis ta'lim. Kini ada sekitar 12 ribu santri yang belajar di pondok yang diasuh generasi ketiga: KH Fawaid As'ad. Sementara adiknya, KH Cholil As'ad di kota (Situbondo) membuka pesantren sendiri (PP Walisongo) dengan jumlah santri sekitar 10 ribu.
Kharisma Kiai As'ad memang sudah terlihat sejak masa mudanya. Ia pernah menghimpun para preman dalam satu organisasi yang disebut PELOPOR. Secara mental keagamaan mereka ini dibina oleh beliau, namun potensinya digunakan untuk melawan penjajahan. Sedangkan pasca kemerdekaan -- organisasi ini juga memperkuat majlis ta'lim. Di masa kepartaian, mereka juga mendukung partai NU. Tahun 1971, ketika NU menjadi partai, kiai ini selalu berkampanye. Lihatlah, di alun-alun Situbondo, yang dihadiri puluhan ribu massa; kala itu Kiai As'ad diusung dengan tandu. Ia memang tak bicara banyak, namun kata-katanya menyihir massa konstituennya. Demikian pula ketika kampanye NU di Banyuwangi, Bondowoso, Probolinggo, Jember dan Lumajang (daerah tapal kuda ini) – ia selalu dielu-elukan orang banyak. Juga ketika di Madura dan ke manapun kiai pergi senantiasa diiringi para Sakerah (sekuriti kampung khas Madura) yang biasa berkaos garis-garis merah putih, berbaju serba hitam bersenjatakan clurit. Di lingkup pengawalan Sakerah itulah Kiai berkampanye di depan puluhan ribu, dan bahkan konon di Madura pernah dihadiri ratusan ribu massa NU.
Ahirnya tahun itu (1971) menghantar NU menjadi pemenang Pemilu ketiga, meskipun sempat mendapat tekanan penguasa. Sehingga karena kekuatiran menjadi lebih besar, maka partai Islam difusikan oleh pemerintah tatkala UU menyederhanakan Parpol dan Golkar. Namun obsesi Kiai As'ad, yang sempat disampaikan selama itu adalah: harapan agar NU kelak pada masanya menjadi partai besar di Indonesia di masa kebangkitan ulama kedua.
Walaupun sibuk di partai, sebagai kiai dan pendidik beliau ternyata berhasil mengembangkan pesantren. Dalam keyakinan kiai yang satu ini, bahwa Islam itu kaffah (komprehensif), tidak bisa dipisah-pisahkan dengan permasalahan dunia lainnya. Stigma yang mencitrakan bahwa politik itu kotor, dan kiai tak boleh berpolitik – maka ini adalah isu yang dinilainya menyesatkan. Karena akhirnya ketika termakan isu itu, yang ternyata berkuasa bukan orang yanag mengerti agama atau mereka yang dibimbing kiai. "Walaupun NU secara institusional menyatakan kembali ke Khittah 26 sebagai jam'iyyah, maka nahdlyyin harus aktif ambil bagian dalam politik untuk mengisi parlemen menyalurkan aspirasi umat," ini kata kiai As'ad suatu saat yang disampaikan kepada para jama'ahnya.
Kiai As'ad juga memiliki wawasan kebangsaan yang sangat luas. Karena ia percaya bahwa kemerdekaan ini dicapai dengan cucuran keringat dan darah para ulama syuhada (pahlawan) yang dimotivasi dengan agama. Karena itu keulamaan dan kebangsaan tak bisa dipisahkan seperti air dan ikan. Ia juga percaya umat Islam ini adalah pilar bangsa, yang jika mereka bersatu maka akan menjadi kekuatan bangsa yang dahsyat dan mampu menyelesaikan berbagai persoalan negara dan bangsa dengan baik. Namun jika terpecah belah, maka niscaya akan menjadi ancaman. Karena itu diperlukan kesadaran umat agar tidak terpengaruh fitnah dan adu domba.
Di luar perbincangan hal-hal yang serius, terutama menyangkut masalah politik dan pemerintahan itu, sehari-hari beliau tak kehilangan rasa humornya. Di sela-sela menerima tamu, yang rata-rata setiap hari mungkin lebih dari 100 sampai 200 orang (terdiri dari walisantri maupun para jama'ahnya) Kiai As'ad menyelipkan anekdot-anekdot segar. Ketika PPP dipimpin Jhony Naro, sementara NU tak lagi jadi partai, beliau dirasakan umat akan jadi Golput (Golongan Putih) alias tidak mencoblos. Untuk menghindari fitnah yang mungkin meluas dan pemutar-balikan fakta tentang sang Kiai yang menganjurkan Golput kepada umatnya, maka Kiai As'ad kala ditanya mau ikut mencoblos atau tidak pada Pemilu mendatang, maka dia pun menjawab: "Kalau saya coblos di rumah saja, bersama isteri saya!". Puluhan tamu yang diterima di rumahnya yang sangat sederhana itu pun tersenyum penuh pengertian karena sembari terhibur. Ketika mau bilang akan bermufaraqah (istilah fiqh tidak berjama'ah lagi) dengan kepemimpinan Gus Dur di PBNU, dia mengatakan: "Kalau imam shalatnya batal, 'kan saya harus mufaraqah. Masa' harus bermakmum?" katanya pasca Muktamar NU ke-28 di Krapyak, Yogyakarta, 1989.
Kiai As'ad memang kiai fenomenal di lingkungan NU. Pernyatan-pernyataannya sulit diduga dan membutuhkan tafsir sosial dan kearifan. Ia sudah wafat 18 tahun silam dalam usia 92 tahun, namun semangat perjuangannya, dalam pendidikan keimanan kiai yang dekat dengan para habaib ini menjadi contoh teladan yang baik bagi para santri dan alumninya. MB#
Posting Komentar